Sabtu, 16 November 2013

ISD Agama dan Masyarakat



NAMA           : GUNTUR AFRIZAL RAMADHAN
NPM               : 13113789
KELAS          : 1KA24

A.    Fungsi Agama
Agama merupakan salah satu prinsip yang (harus) dimiliki oleh setiap manusia untuk mempercayai Tuhan dalam kehidupan mereka. Tidak hanya itu, secara individu agama bisa digunakan untuk menuntun kehidupan manusia dalam mengarungi kehidupannya sehari-hari.
Prof. Dr. H. Jalaluddin dalam bukunya Psikologi Agama membantu kita memahami beberapa fungsi agama dalam masyarakat, antara lain:

  1. Fungsi Edukatif (Pendidikan). Ajaran agama secara yuridis (hukum) berfungsi menyuruh/mengajak dan melarang yang harus dipatuhi agar pribagi penganutnya menjadi baik dan benar, dan terbiasa dengan yang baik dan yang benar menurut ajaran agama masing-masing.
  2. Fungsi Penyelamat. Dimanapun manusia berada, dia selalu menginginkan dirinya selamat. Keselamatan yang diberikan oleh agama meliputi kehidupan dunia dan akhirat. Charles Kimball dalam bukunya Kala Agama Menjadi Bencana melontarkan kritik tajam terhadap agama monoteisme (ajaran menganut Tuhan satu). Menurutnya, sekarang ini agama tidak lagi berhak bertanya: Apakah umat di luat agamaku diselamatkan atau tidak? Apalagi bertanya bagaimana mereka bisa diselamatkan? Teologi (agama) harus meninggalkan perspektif (pandangan) sempit tersebut. Teologi mesti terbuka bahwa Tuhan mempunyai rencana keselamatan umat manusia yang menyeluruh. Rencana itu tidak pernah terbuka dan mungkin agamaku tidak cukup menyelami secara sendirian. Bisa jadi agama-agama lain mempunyai pengertian dan sumbangan untuk menyelami rencana keselamatan Tuhan tersebut. Dari sinilah, dialog antar agama bisa dimulai dengan terbuka dan jujur serta setara.
  3. Fungsi Perdamaian. Melalui tuntunan agama seorang/sekelompok orang yang bersalah atau berdosa mencapai kedamaian batin dan perdamaian dengan diri sendiri, sesama, semesta dan Alloh. Tentu dia/mereka harus bertaubat dan mengubah cara hidup.
  4. Fungsi Kontrol Sosial. Ajaran agama membentuk penganutnya makin peka terhadap masalah-masalah sosial seperti, kemaksiatan, kemiskinan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Kepekaan ini juga mendorong untuk tidak bisa berdiam diri menyaksikan kebatilan yang merasuki sistem kehidupan yang ada.
  5. Fungsi Pemupuk Rasa Solidaritas. Bila fungsi ini dibangun secara serius dan tulus, maka persaudaraan yang kokoh akan berdiri tegak menjadi pilar "Civil Society" (kehidupan masyarakat) yang memukau.
  6. Fungsi Pembaharuan. Ajaran agama dapat mengubah kehidupan pribadi seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru. Dengan fungsi ini seharusnya agama terus-menerus menjadi agen perubahan basis-basis nilai dan moral bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  7. Fungsi Kreatif. Fungsi ini menopang dan mendorong fungsi pembaharuan untuk mengajak umat beragama bekerja produktif dan inovatif bukan hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.
  8. Fungsi Sublimatif (bersifat perubahan emosi). Ajaran agama mensucikan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agamawi, melainkan juga bersifat duniawi. Usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus, karena untuk Alloh, itu adalah ibadah.
Dimensi komitmen agama menurut Roland Robertson:
1.      dimensi keyakinan mengandung perkiraan/harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu.
2.      Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata.
3.      Dimensi pengerahuan, dikaitkan dengan perkiraan.
4.      Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, semua agama mempunyai perkiraan tertentu.
5.      Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan.
Agama begitu universal , permanan (langgeng) , dan mengatur dalam kehidupan sehingga bila tidak memahami agama , akan sukar memahami masyarakat . hal yang perlu dijawab dalam memahami lembaga agama adalah , apa dan mengapa agama ada , unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur agama . Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe , meskipun tidak menggambarkan sebernarnya seccara utuh ( Elizabeth K. Nottingham,1954). Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Masyarakat tipe ini kecil terisolasi , dan terbelakang.
Anggota masyarakat menganut agama yang sama . oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama .agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain . sifat-sifat :
1.      Agama memasukan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat secar mutlak.
2.      Dalam keadaan lembaga lain selain keluarga relatif belum berkembang , agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
Masyarakat-masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakat tidak terisolasi ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi dari tipe pertama.
Tampilnya organisasi agama adalah akibat adanya “ perubahan batin “ atau kedalamann beragama , mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi , fasilitas , produksi produksi , pendidikan , dan sebagainya . Agama menuju ke pengkhususan fungsional . pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.
B.     Pelembagaan Agama
Nottingham menjelaskan secara umum tentang hubungan agama dengan masyarakat yang menurutnya, terbagi tipe-tipe. Tampaknya pembagia ini mengikutui konsep August Comte tentang proses tahapan pwembentukan masyarakat. Adapun tipe-tipe yang di maksud Nottingham itu adalah sebagai berikut.
1.         Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sacral. Tipe masyarakat ini kecil, terisolasi dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang relative berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi focus utama bagi pengintegrasian dan persatuan masyarakat dari masyatakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan agama memasukan pengaruh yang sacral ke dalam system nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.
2.         Masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada system nilai dalam tipe masyarakat ini. Tetapi, pada saat yang sama, lingkungan yang sacral dan yang sekuler sedikit-banyak masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase kehidupan social masih diisi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah adat-istiadat saja.Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan focus utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perseorangan, dan pembentukan citra pribadi mempunyai konsekuensi penting bagi agama.Salah satu akibatnya,anggota masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode empiris yang berdasarkan penalaran dan efesiensi dalam menanggapi masalah- masalah kemanusiaan sehingga lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan agama? Kami mengurapamakan sebagai sebuah telepon. Jika manusia adalah suatu pesawat telepon, maka agama adalah media perantara seperti kabel telepon untuk dapat menghubungkan pesawat telepon kita dengan Telkom atau dalam hal ini Tuhan. Lembaga agama adalah suatu organisasi, yang disahkan oleh pemerintah dan berjalan menurut keyakinan yang dianut oleh masing-masing agama. Penduduk Indonesia pada umumnya telah menjadi penganut formal salah satu dari lima agama resmi yang diakui pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan patut bersyukur atas kenyataan itu. Namun nampaknya belum bisa berbangga. Perpindahan penganut agama suku ke salah satu agama resmi itu banyak yang tidak murni.

Sejarah mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan. Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga agama membutuhkan penganut atau pengikut. Kerjasama (atau lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng pada suatu kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang mengadakan invansi ke daerah lain. Penduduk daerah atau negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka) menjadi penganut agama penguasa baru.

Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya tetapi juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan. Di Indonesia “tradisi” saling memanfaatkan berlanjut pada zaman orde Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di luar lima agama resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima agama resmi, termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi versi pemerintah. Namun ternyata masalah belum selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian terhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran agam suku, yang dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama monoteis, umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan demikian. Lagi pula pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif. Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desadesa.

Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka upacarav-upacara adat yang notabene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah. Upacara-upacara agama sukuyang selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman air dan pupuk yang segar. Anehnya sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama suku. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik” dari salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama.
C.    Agama ,konflik dan masyarakat
Konflik  berbau agama, memang masih terjadi di Negeri ini. Meskipun patut diakui secara jujur bahwa konflik berbau agama bukanlah penyebab paling dominan akan keresahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat masyarakat. Konflik horizontal dan kekerasan massal yang disebabkan faktor lain justru jumlahnya lebih banyak. Demokrasi di alam reformasi saat ini terbukti membuat masyarakat ini sakit. Semakin hari penyakitnya semakin kronis.  Banyak kasus sepele yang berubah menjadi konflik horizontal yang luas dan kekerasan massal. Bahkan akhir-akhir ini kekerasan telah menjadi hobi, sebagaimana kita saksikan pada kasus-kasus kekerasan geng motor.
Lebih dari itu, sebagaimana dinyatakan Dr KH Hasyim Muzadi bahwa Tujuh puluh persen (70%) konflik keagamaan terjadi karena faktor non agama yang diagamakan. Ia mengatakan: “Berbagai masalah, terutama politik, pemberontakan, perebutan kekuasaan, masalah sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, disulap dan dibelokkan menjadi masalah agama” (6/4/2013). Bahkan mantan wapres Jusuf Kalla (JK) menegaskan, tak pernah ada konflik atas nama agama yang terjadi di Indonesia. Yang ada, kata dia, agama hanya dijadikan alat untuk menggalang solidaritas massa demi kepentingan tertentu dari konflik tersebut. Ia mengatakan: “Tidak ada. Yang ada agama seringkali hanya dijadikan alat dalam setiap perselisihan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (23/4/2013).  Ia mencontohkan apa yang terjadi di Indonesia. JK mencatat ada 15 konflik horizontal yang pernah terjadi di Indonesia. Dari semua itu, 10 konflik berakar pada ketidakadilan ekonomi. Sementara lima konflik terjadi karena kepentingan politik. Akan tetapi, lanjutnya, beberapa konflik yang terjadi tadi kemudian menggunakan alat agama untuk mendapatkan solidaritas massa. Maka yang terjadi adalah konflik melibatkan antar-umat beragama. Padahal itu bukan berdasar pada agama.
Memang tak dapat dipungkiri, kasus-kasus seperti penyerangan terhadap Ahmadiyah, konflik akibat pendirian gereja, persoalan suni-syiah seperti terjadi di Sampang beberapa waktu lalu, masih saja terjadi. Namun, hal ini terjadi bukan semata faktor agama, melainkan karena ketidaktegasan pemerintah dalam menjalankan komitmennya sendiri. Pidato demi pidato sudah begitu sering kita dengar dari presiden. Namun tak dapat mengubah sikap keras kepala ahmadiyah yang kerap kali melanggar SKB tiga menteri. Justru upaya melawan pelanggaran SKB itu yang dituduh radikal. Hal yang sama juga  terjadi tatkala ketentuan-ketentuan menyangkut pendirian tempat ibadah dilanggar. Pemerintah cenderung tidak tegas dan kerap kali melakukan pembiaran. Jadi, ini bukanlah persoalan toleransi sebagaimana sering dituduhkan terhadap umat Islam. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan rumah ibadah Kristen justru lebih besar dibandingkan dengan masjid. Rumah ibadah umat Islam pada periode 1977-2004 meningkat 64,22 persen, Kristen Protestan 131,38 persen, Kristen Katolik meningkat hingga 152 persen. Tak ada masalah, apabila ketentuan-ketentuan itu tidak dilanggar. Dengan kata lain, konflik keagamaan terjadi karena ketidakhadiran negara, atau seringkali pemerintah lamban. Sebagai contoh kasus HKBP Ciketing dan GKI Yasmin yang hingga kini tak kunjung selesai karena kurang aktifnya pemerintah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar